Minggu, 07 November 2010

BENCANA GUNUNG MERAPI

Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.

Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.

Tanggapan saya dari manusia dan penderitaan dapat kita lihat dari peristiwa bencana meletusnya gunung merapi yang berada di daerah Yogyakarta.
Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mengeluarkan erupsi. Erupsi terjadi Kamis (28/10) hari ini pukul 16.10 WIB.
Erupsi berupa luncuran awan panas tersebut diawali dengan rentetan gempa multivase, gempa vulkanik dan guguran lava. Erupsi awan panas tersebut mengarah ke arah barat atau Senowo, Kabupaten Sleman.
Visualisasi di puncak Merapi tidak terlihat jelas karena tertutup kabut. Kondisi ini serupa saat Merapi mengeluarkan erupsi pada 26 Oktober lalu. Saat itu tidak ada awan hitam. Namun, selang beberapa saat kemudian tampak awan hitam turun meluncur. Erupsi kali ini diperkirakan jauh lebih dahsyat.
Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, awan panas meluncur ke arah Barat setinggi tiga kilometer atau dua kali dari tinggi erupsi tanggal 26 Oktober lalu yang hanya satu setengah kilometer.
Dengan erupsi hanya setinggi satu setengah meter, Merapi meluluhlantakan satu dusun, yaitu Dusun Pelemsari, Desa Umbulsari, Kecamatan Cangkringan, tempat tinggal Mbah Maridjan. Ini menunjukkan, meski seperti tidur, status awas Merapi saat ini masih amat berbahaya.
Sebanyak 1.500 pengungsi dari Desa Umbulharjo masih bertahan di tempat pengungsian. Merasa kondisinya aman, saat siang hari sebagian pengungsi kembali ke rumah mereka untuk melihat ternak.
Padahal, lokasi tempat tinggal mereka berada di kawasan paling rawan erupsi.
Letusan gunung berapi menimbulkan polusi karena adanya gas-gas yang berbahaya, biasanya karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), hidrogen klorida (HCL), dan masih banyak lagi yang keluar bersama material,
Selain gas, letusan Merapi juga membawa partikel-partikel padat berukuran besar, seperti batu atau kerikil, sampai debu-debu halus yang biasanya mengandung silika. Dengan kata lain, polutan dari letusan gunung ada yang berbentuk gas beracun, suhu panas, hingga partikel.
Semua polutan itu bisa dihirup oleh pernapasan kita. Bila gas beracun ada dalam konsentrasi tinggi, tentu akibatnya fatal, seperti halnya awan panas,. Sementara itu, debu-debu bisa terhirup sampai masuk ke paru, bahkan ke alveoli (saluran pernapasan terkecil).
Sebenarnya, sistem pernapasan kita memiliki beberapa mekanisme pertahanan yang mencegah benda asing memasuki paru. Namun, beberapa zat beracun, seperti juga asap rokok, bisa mengganggu fungsi pertahanan tersebut.
Akibatnya adalah gangguan pernapasan seperti sesak napas, batuk, hingga infeksi pernapasan akut (ISPA). Pada umumnya, daya tahan tubuh pengungsi lebih lemah karena kelelahan dan kurang asupan makanan bergizi. Akibatnya, mereka juga rentan terkena infeksi,
Untuk mengurangi gangguan penyakit pada pernapasan, yang paling penting adalah menjauhi sumber polutan, dalam hal ini menjauh dari Gunung Merapi.Makin jauh dari sumber polutan, makin kecil konsentrasi zat-zat berbahayanya.


RISKA ANNIKE PUTRI
IBD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar